Dalam beberapa tahun ini, terutama setelah menjamurnya televisi swasta baik secara nasional maupun lokal. Lintas budaya dan bahasa terasa begitu mudahnya meloncat melewati batas wilayah. Pada masa informasi terpusat dan terkontrol melalui TVRI saluran televisi yang menjalin persatuan dan kesatuan, tidak begitu banyak lintas budaya dan bahasa mampu menembus batas wilayah. Meskipun ada tetapi kecepatannya tidak secepat saat ini.
Salah satu istilah yang berhasil melintas batas bahasa dan budaya adalah istilah ‘ngabuburit’. Kata ‘ngabuburit’ ini berasal dari bahasa Sunda dengan kata dasar ‘burit’ artinya ‘senja atau sore’. Setelah berproses dalam masyarakat Sunda mendapat berbagai penambahan sehingga menjadi ‘ngabuburit’ yang artinya kurang lebih ‘menunggu waktu sore atau senja’. Meskipun oleh orang Sunda sendiri arti kata ini bermakna luas tetapi penggunaannya lebih kepada suasana bulan Ramadhan saat masyarakat Sunda membuat berbagai aktivitas menunggu waktu Maghrib berbuka puasa.
Dengan banyaknya tayangan Ramadhan di berbagai televisi swasta nasional untuk menarik minat penonton sambil menunggu waktu berbuka, secara langsung maupun tidak langsung istilah ‘ngabuburit’ ini dikenalkan kepada masyarakat di luar Sunda. Apalagi televisi swasta tersebut berada di Jakarta yang berdekatan dengan daerah Sunda serta banyak artis-artis pengisi acara berasal dari daerah tersebut.
Istilah ‘ngabuburit’ pun melintas ke dalam budaya Banjar. Saat ini di masyarakat Banjar, anak muda terutama, begitu umumnya memakai istilah ‘ngabuburit’ untuk menunjukkan kegiatan mereka menunggu berbuka puasa. Entahlah kalau ada Urang Banjar yang sampai kepada tahap bangga memakai istilah tersebut. Padahal ‘burit’ dalam bahasa Banjar artinya ‘pantat’.
Tidaklah saya bisa bayangkan ada Urang Banjar kesana kemari berbicara ‘burit’ kepada sesama Urang Banjar yang mengerti artinya. Apalagi kepada orang yang lebih tua. Bisa ‘katulahan’ jar Urang Banjar. Orang tua dahulu tidak mengajarkan membicarakan bagian tubuh yang satu ini disampaikan secara eksplisit, kecuali di bawah keadaan terpaksa. Istilah ‘burit’ dalam Bahasa Banjar pun sering digunakan dalam kondisi mengejek atau bersenda gurau, misalnya ‘dasar si burit kempos’ atau ‘kaganalan burit ikam tu’atau yang lebih kasar ‘muha kaya burit’
Saya berpendapat ‘burit’ adalah satu kata dalam Bahasa Banjar yang artinya kurang terhormat digunakan untuk menunggu waktu suci berbuka puasa.
Akan ada yang kontra dengan pendapat saya ini, mereka bisa beralasan sekarang adalah abad globalisasi semua bahasa bisa diserap asal tahu maknanya dan penggunaannya pun tepat. Apalagi dengan istilah tersebut mengarah kepada kekinian dan tingkat pengetahuan pergaulan yang tinggi.
Ya, saya tidak akan mendebat Anda untuk itu. Tetapi saya hampir bisa pastikan bahwa tidak ada orang Sunda tempat asalnya istilah ‘ngabuburit’ akan dengan bangga menyebut kata ‘bujur’ yang dalam Bahasa Banjar yang artinya ‘betul/benar’. Sebab dalam bahasa Sunda kata ‘bujur’ artinya ‘pantat’. Mungkin orang Sunda akan tertawa geli saat pertama kali mendengar urang Banjar berkata, “babujuran aku kada badusta”. Dalam pikiran mereka ‘babujuran’ mungkin ‘berpantat-pantatan’.
Sama halnya ‘ngabuburit’ ada beberapa kawan di daerah yang memelesetkan kata ini menjadi ‘ngadu burit’. Ada yang bercanda, “ayo kita ngadu burit sambil menunggu waktu buka puasa”. Candaan yang kurang pantas di dalam suasana bulan Ramadhan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan karena kata ‘ngabuburit’ begitu tidak nyamannya terdengar di telinga urang Banjar. Kecuali bagi urang Banjar yang merasa sudah global dan gaul.
Dari sebuah diskusi yang digagas Bapak Zulfaisal Putera di media facebook, terlontar beberapa kata dan kalimat dalam Bahasa Banjar untuk mengganti kata ‘ngabuburit’ ini. Lontaran usulan kata ini bentuk kepedulian Urang Banjar yang sama-sama tidak nyaman mendengar kata ‘ngabuburit’. Saya coba kutip bebas, dalam diskusi ini berbagai macam istilah dan maknanya disarankan, dan akhirnya mengerucut kepada istilah ‘basambang’. Istilah ‘basambang’ pertama dimunculkan oleh seniman Banjar Mukhlis Maman dari sebuah kata ulang “sambang simambang” yang bermakna menunggu langit warna jingga waktu senja. Kemudian dipertegas oleh budayawan Banjar Sirajul Huda dengan memunculkan istilah ‘menyambang dauh’. Hal ini kemudian disambut baik oleh sastrawan Banjar Arsyad Indradi dengan argumen kalau ‘menunggu dauh’ terlalu umum sebab bisa ‘dauh magrib’, ‘dauh jumat’, ‘dauh bagarakan sahur’. Arsyad Indradi cenderung memilih ‘basambang’ yang bermakna ‘menunggu waktu magrib (berbuka puasa), bukan ‘menyambang’ yang bermakna ‘menunggu seseorang yang akan lewat, yang akan datang”. Istilah ‘basambang’ ini akhirnya diterima oleh sebagian besar peserta diskusi.
Ada berbagai usulan terutama dalam bentuk akronim, namun menurut Bapak Zulfaisal Putera belum ada kata Bahasa Banjar hasil dari bentukan akronim.
Saya cenderung setuju dengan ‘basambang’ ini, karena itulah akan mencoba mulai mensosialisasikan istilah ‘basambang’ dalam berbagai kesempatan. Bukankah populernya istilah bergantung kebiasaan? kalau dangsanak mau ikut bergabung, silahkan ikut menyebarkan istilah ‘basambang’ pada setiap suasana menunggu waktu berbuka puasa dan biarkan Urang Banjar punya istilah sendiri.
Kada Ulun Biarakan Budaya Banjar Hilang di Dunia !!